Selasa, 13 Oktober 2009

Situ Gintung Berduka



Situ Gintung adalah danau kecil buatan yang terletak Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Lokasi danau ini berada di sebelah barat daya kota Jakarta. Danau seluas 21,4 ha (2008) ini telah berubah fungsi, dimanfaatkan sebagai tempat wisata taman.
Awal pembentukan situ (danau) ini adalah sebagai waduk yang berfungsi sebagai tempat penampungan air hujan dan untuk perairan ladang pertanian di sekitarnya, dibuat antara tahun 1932-1933 dengan luas awal 31 ha. Kapasitas penyimpanannya mencapai 2,1 juta meter kubik. Situ ini adalah bagian dari Daerah Aliran Ci Sadane merupakan salah satu sungai utama Propinsi Banten dan Jawa Barat sumber berasal dari Gunung Salak dan Gunung Pangrango di (Kabupaten Bogor, sebelah selatan Kabupaten Tangerang) yang mengalir ke Laut Jawa panjang sungai ini sekitar 80 km dan bendungan aliran Kali Pesanggrahan. Di tengah-tengah situ terdapat sebuah pulau kecil yang menyambung sampai ke tepi daratan seluas kurang lebih 1,5 ha yang bernama Pulau Situ Gintung beserta hutan tanaman yang berada sekitarnya. Semenjak tahun 1970-an kawasan pulau dan salah satu tepi Situ Gintung dimanfaatkan sebagai tempat wisata alam dan perairan.

Pada tanggal 27 Maret 2009 dini hari, wilayah Situ Gintung mengalami hujan deras yang menyebabkan pihak keamanan memberikan peringatan bahaya banjir sekitar pukul 02.00. Namun demikian, tidak ada tindakan lanjut pengamanan hingga terjadi kebobolan tanggul selebar 30 m dengan ketinggian 6 m pada sekitar pukul 04.00 WIB dan sekitar 2,1 juta meter kubik air melalui melanda pemukiman yang terletak di bawah tanggul.
Korban meninggal sedikitnya 100 orang dan masih banyak korban yang dilaporkan masih hilang, ratusan rumah warga hanyut, dan ribuan rumah lainnya di kawasan Ciputat dan Bintaro tergenang banjir.. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla mengunjungi tempat bencana pada siang hari dan berjanji akan secepat mungkin melakukan renovasi. Bencana ini juga membuat Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, memerintahkan pemeriksaan ulang semua bangunan pengatur air di wilayah DKI Jakarta.
Kita semua patut mengucapkan duka sedalam-dalamnya kepada seluruh warga yang menjadi korban dalam peristiwa itu. tetapi persoalan ini harus dikembalikan kepada proporsi yang sebenarnya dimana kejadian ini dipicu oleh kelalaian manusia. Yang disebabkan oleh lemahnya pengawasan dan pemantauan terhadap perkembangan kondisi waduk dan kemampuan daya tampung air di dalamnya. Selian itu hal ini juga disebabkan oleh manajemen tata ruang perkotaan yang masih sangat lemah sehingga mengabaikan aspek-aspek lingkungan dan daya fungsi ruang.

Tim SAR saat mengevakuasi korban

Jika kita melihat ke belakang, Waduk Situ Gitung itu dibangun pada zaman colonial Belanda pada tahun 1930, yang usianya saat ini kurang lebih sudah 76 tahun. Melihat usianya yang sudah hampir satu abad, konstruksi waduk Situ Gintung tentu sudah mengalami penyusutan. Kekuatan waduk untuk menahan air tidaklah sekuat pada saat awal waduk itu dibangun. Untuk itulah perlunya keseriusan pemerintah khususnya pemerintah Daerah Ibu Kota DKI Jakarta dalam melakukan pengawasan terhadap berbagai perkembangan dan kondisi waduk secara rutin demi menjaga dan menghindari berbagai kemungkinan terburuk yang timbul.
Pada saat pembangunan waduk tersebut, mungkin pemerintah Kolonial Belanda tidak membayangkan bahwa aka nada pertambahan jumlah penduduk yang begitu pesa di Jakarta sehingga areal kawasan sekitar waduk yang semua ruang hijau kini sudah berubah menjadi dipenuhi bangunan beton sehingga tidak mampu lagi menahan air curah hujan. Kebijakan rencana tata ruang yang salah oleh pemerintah ibu kota ini yang kemudian menjadi pemicu terjadinya volume air berlebih di dalam waduk situ gintung sampai melebihi kapasitas kemampuan daya tampung waduk. Sehingga beban debit air semakin berat dan menghancurkan bangunan waduk yang produk pemerintah Belanda itu.
Menjamurnya bangunan di sekitar areal waduk membuktikan bahwa pemerintah telah salah dalam menetapkan rencanan tata ruang wilayah sehingga mengabaikan fungsi lahan. Akibatnya waduk situ gintung menjadi ambruk oleh hempasan air. Ini merupakan bentuk kelalaian yang serius dari pemerintah daerah. Karena telah memanfaatkan lahan tidak sesuai dengan peruntukanya sehingga menyebabkan terjadiya konsentrasi air dalam jumlah banyak karena minimnya lahan yang dapat menjadi alternatife penyerapan air curah hujan pada saat musih penghujan. Untuk itu peristiwa situ gintung ini lebih tepat jika disebut dengan sebutan bencana yang dipicu oleh kelalaian pemerintah.

Sutopo Purwo, ahli perairan BPPT, menyatakan analisis pihaknya terhadap Situ Gintung menunjukkan kondisi tempat pelimpasan banjir dari situ adalah titik lemah dari jebolnya tanggul. Dokumentasi yang dilakukan BPPT pada Desember 2008 menunjukkan sebelumnya telah terjadi semacam erosi buluh. Menurut Sutopo, di dunia ini hampir 30 persen penyebab jebolnya bendungan-bendungan besar adalah erosi buluh. Namun, proses ini berlangsung tak hanya dalam waktu sekejap, tapi tahunan sehingga bisa dicegah. Munculnya mata air-mata air baru merupakan tanda adanya erosi buluh.
Pitoyo Subandrio, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, mengatakan, jebolnya tanggul akibat bencana alam. Yakni turunnya curah hujan selama sekitar lima jam membuat permukaan air naik secara signifikan yang tidak mampu ditahan pelimpah atau spillway. "Karena terjadi limpasan, spillway tak mampu lagi menahan karena hanya didisain untuk kapasitas tertentu," kata Pitoyo.
Direktur Jenderal Sumber Daya Air, Iwan Nursyirwan, menanggapi berbagai pertanyaan media massa terkait Musibah Situ Gintung. Dikatakan Iwan, bahwa danau dan situ yang berada di Jabodetabek berada dalam kondisi terkendali, hal ini diyakinkannya karena Ditjen SDA kerap melaksanakan inspeksi sesuai prosedur, yang terakhir dilakukan melalui Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane pada bulan Juli 2008, bahkan sebenarnya telah dibangun jogging track sebagai pembatas agar tidak ada okupasi terhadap tanggul. Hal ini dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri (Permen) PU No 72 Tahun 1997, agar inspeksi harus dilakukan minimal satu kali dalam setahun terhadap situ, waduk, dan bendungan yang tergolong kecil. Sehingga jebolnya tanggul Situ Gintung disebabkan volume air yang terlalu besar karena surah hujan yang ekstrem.

Secara struktur, walaupun sudah tua, Situ Gintung masih berada dalam kondisi baik, dalam arti masih kuat menampung air hingga batas maksimal. Musibah Situ Gintung merupakan pengalaman bagi semua pihak untuk mengantisipasi dan mengawasi lingkungan sekitar bila terdapat kejadian hujan dengan intensitas tinggi dan sangat deras, yang terjadi selama berjam-jam. Lebih lagi, ke depan jangan ada masyarakat yang bertempat tinggal di pinggiran sungai atau di daerah sekitar bawah tanggul. Memang sangat disayangkan, bahwa terbangun rumah dengan surat ijin legal, walaupun pembangunan fondasi rumah-rumah tersebut sebenarnya dapat mengurangi kekuatan tanggul.

Ada opsi yang dapat dipakai Pemerintah Pusat sebagai solusi terhadap Situ Gintung, yakni mengembalikan fungsi situ seperti semula atau mengembalikan situ seperti awal sebelum dibangun situ, yakni menjadi sungai.
Namun, sangat ditegaskan oleh Dirjen SDA, bila kembali ke situ maka diharap untuk tidak ada lagi rumah-rumah yang dibangun di atas tanggul dan bila kembali menjadi sungai maka tidak ada lagi rumah terbangun di sepanjang DAS, karena nantinya akan menimbulkan masalah juga, yakni banjir. “Idealnya penduduk tinggal dengan jarak minimal 100 meter dari kaki tanggul”, jelas Dirjen SDA. Saat ini, dilakukan pula studi terhadap opsi tersebut yang akan selesai dalam 3 bulan ke depan, berkaitan dengan solusi situ gintung ini, kemudian akan dikonsultasikan dan diupayakan opsi tersebut untuk mulai dilaksanakan pada tahun 2010. Hal lain yang diungkapkan Iwan Nursyirwan, adalah bahwa upaya-upaya untuk menertibkan semua pihak terhadap aturan tata ruang akan memiliki resiko sosial dan pendanaan, sehingga harus dibicarakan lebih lanjut antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar